Hamid seorang anak yatim dan miskin. Dia kemudian diangkat oleh keluarga kaya,yaitu keluarga Haji Ja’far dan istrinya Asiah terhadap Hamid sangat baik. Hamid seakan-akan telah dianggapnya sebagai anak mereka sendiri. Mereka begitu sayang sama Hamid, sebab Hamid termasuk seorang anak yang rajin,sopan,berbudi serta taat sekali terhadap agama. Itulah sebabnya Hamid juga mereka sekolahkan bersama-sama dengan Zainab anak kandung Haji Ja’far di sekolah rendah.
Hamid begitu sayang sama Zainab. Sebaliknya jauga Zainab, sangat sayang sama Hamid. Mereka sering pergi ke sekolah bersama-sama. Mereka juga bermain bersama-sama sepulang sekolah maupun selama di sekolah. Ketika kedua-duanya beranjak remaja, rupanya dalam dada masing-masing mulai tumbuh perasaan lain. Suatu perasaan selama ini belum pernah mereka rasakan. Hamid merasa bahwa rasa kasih sayang yang muncul dalam dadanya terhadap Zainab sudah melebihi rasa sayang kepada seorang adik seperti selama ini dia rasakan. Zainab juga ternyata mempunyai perasaan yang sama seperti yang dirasaka Hamid.
Setelah menamatkan sekolah rendahnya, Hamid melanjutkan lagi sekolahnya ke Padangpanjang. Sementara Zainab langsung dipingit oleh kedua orang tuanya. Maka, dengan berat hati, Hamid meninggalkan gadis itu. Selama di Padangpanjang, pemuda itu semakin menyadari perasaan cintanya terhadap Zainab. Perasaan rindu hendak bertemu dengan gadis itu semakin hari semakin menyiksa dirinya. Ia ingin selalu berada di dekatnya. Namun, ia tidak berani mengutarakan perasaan hatinya. Ia menyadari adanya jurang pemisah yang sangat dalam di antara mereka. Zainab berasal dari keluarga berada dan terpandang, sedangkan dia hanya berasal dari keluarga miskin. Itulah sebabnya rasanya cintanya yang bergelora terhadap Zainab hanya dipendam saja.
Hamid benar-benar harus mengubur perasaan cintanya kepada Zainab ketika Haji Ja’far, ayah Zainab yang sekaligus ayah angkatnya, meninggal dunia. Tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal dunia. Betapa pilu hatinya ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat dicintainya. Kini ia merasa hidup sebatang kara. Ia merasa tidak lebih sebagai pemuda yatim piatu yang miskin. Sejak kematian ayah angkatnya, Hamid tidak dapat menemui Zainab lagi karena gadis itu telah dipingit ketat oleh mamaknya.
Hati Hamid semakin hancur ketika ia mengetahui bahwa mamaknya, Asiah akan menjodohkan Zainab denga seorang pemuda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan almarhum ayah angkatnya. Bahkan Mak Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zainab agar gadis itu menerima pamuda pilihan ibunya sebagai calon suaminya. Betapa hancur hati Hamid menerima kenyataan itu. Cinta kasih kepada pujaan hatinya tidak akan pernah tercapai.
Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Mak Asiah. Dia menemui Zainab dan membujuk gadis itu agar menerima pemuda pilihan mamaknya. Menerima kenyataan tersebut hati Zainab menjadi sangat sedih. Dalam hatinya, ia ingin menolak kehendak mamaknya, namun ia tidak mampu melakukannya. Maka dengan sangat terpaksa, ia menerima pemuda pilihan orang tuanya itu. Setelah kejadian itu Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia tidak sanggup menanggung beban yang begitu berat. Itulah sebabnya, ia meninggalkan Zainab dan pergi ke Medan. Sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zainab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada gadis itu. Dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju Singapura. Kemudian, dia pergi ke tanah suci Mekkah.
Betapa sedih dan hancurnya hati Zainab ketika ia menerima surat dari Hamid. Gadis itu merasa tersiksa karena iapun mencintai Hamid. Ia sangat merindukan pemuda itu. Namun, ia harus melupakan cintanya karena mamaknya telah menjodohkan dirinya dengan pemuda lain. Karena selalu dirundung kesedihan, Zainab menjadi sering sakit-sakitan dan ia kehilangan semangat hidupnya.
Sementara itu, Hamid pun selalu dirundung kegelisahan karena menahan beban rindunya kepada Zainab. Untuk menghapuskan kerinduaannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang Syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam ilmu agama Islam dengan tekun.
Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid bertemu dengan Saleh, seorang teman kampungnya yang akan melaksanakan ibadah haji. Ketika itu saleh menjadi tamu di penginapan tempat Hamid bekerja. Istri Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar tentang Zainab. Dari penuturan saleh, dia mengetahui bahwa Zainab pun mencintai dirinya. Sejak kepergiannya, gadis itu sering sakit-sakitan. Ia sangat menderita batin karena dia menanggung rindu kepadanya. Ia juga mengetahui bahwa gadis itu tak jadi menikah dengan pemuda pilih ibunya karena suatu alasan.
Mendengar penuturan Saleh, Hamid merasa sedih sekaligus gembira. Dia sedih sebab Zainab dalam keadaan menderita batin. Di lain pihak, ia gembira sebab gadis itu ternyata mencintai dirinya. Artinya, ia tidak bertepuk sebelah tangan. Selain itu, Zainab akan menjadi miliknya karena gadis itu tidak menjadi menikah dengan pemuda pilihan hati mamaknya. Setelah mengetahui kenyataan yang menggembirakan itu, Hamid memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah ia menunaikan ibadah haji.
Sementara itu, Saleh mengirimkan surat kepada istrinya yang isinya menggambarkan pertemuannya dengan Hamid. Ia menceritakan bahwa Hamid masih menantikan Zainab, dan ia pun memberitahukan bahwa Hamid akan pulang ke kampung halamannya bila mereka telah selesai menunaikan ibadah haji.
Rosna memberi surat dari Saleh kepada Zainab. Ketika membaca surat itu, betapa gembiranya hati Zainab. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan kekasih hatinya. Ia merasa tak sabar lagi menanti kedatangan kekasih hatinya. Segala kenangan indah bersama pemuda itu kembali menari-nari dalam pikirannya. Semua perasaannya itu ia ungkapkan melalui suratnya kepada Hamid.
Hamid menerima surat Zainab dengan suka cita. Semangatnya untuk segera kembali ke kampung semakin menggebu-gebu. Dia sangat merindukan kekasihnya. Itulah sebabnya, dia memaksakan diri untuk tetap menunaikan ibadah haji sekalipun dalam keadaan sakit. Dia menjalankan setiap tahap yang wajib dilaksanakan untuk kesucian dan kemurnian ibadah haji dengan penuh semangat. Dalam keadaan sakit parah, ia tetap melakukan wukuf. Namun , sepulang melakukan wukuf di Padang Arafah, kondisi tubuhnya semakin melemah. Pada saat yang sama, Saleh mendapat kabar buruk dari istrinya bahwa Zainab telah meninggal dunia. Ia tidak ingin memberikan kabar tersebut kepada Hamid karena keadaan pemuda itu yang sedang sakit parah. Namun, Hamid mendesaknya untuk menceritakan surat tersebut.
Hati Hamid sangat terpukul mendengar kenyataan itu. Namun karena keimanannya kuat, dia mampu menerima kenyataan pahit itu dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Keesokan harinya ia tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya dia terjatuh, sehingga Saleh mengupah orang Badui untuk memapahnya. Setelah acara di Mina keduanya berangkat menuju ke Mesjidil Haram. Ketika mereka selesai mengelilingi Kabah, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Sambil memegang Kiswah itu ia mengucapkan “ Ya Rabbi, ya Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang “ beberapa kali. Suaranya semakin melemah dan akhirnya berhenti untuk selama-lamanya. Hamid telah meninggal dunia di hadapan Kabah, rumah Allah, dan ia akan menuju ke sana.
KutipanNovel
Bagian 6, halaman 36 s/d 41
Saya datang kerumah itu, rumah tempat saya bersenda gurau dengan Zainab diwaktu kecil. Rumah itu seakan-akan kehilangan semangat dan memang kehilangan semangat, karena bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata. Pintu keluar terbuka sedikit dan saya ketuk daunnya yang menghadap kedalam; pintu terbuka ............ Zainab yang membukakan.
“ Abang Hamid!” katanya.
Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembira melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru sesaat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak bisa saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberi saya pengharapan penuh.
“ Bang Hamid ! “ katanya menyambung perkataannya.
“ Sudah lama benar Abang tak datang kemari, lupa Abang agaknya kepada kami ! “
Gugup saya hendak menjawab ; saya pintar mengarang hanyal dan angan-angan, tetapi bila sampai dihadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.
“ Tidak Zainab ,” jawabku dengan gugup; “ Tapi....... bukankah kita sama-sama kematian ? “
Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang kepinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebagaian keningnya dan sepatah katapun dia tak bicara lagi.
“ Zainab ,” ........kataku pula. “ Sebentar tidaklah saya.........pernah lupa hendak datang kemari, barangkali engkaulah agaknya yang........ lupa kepadaku “.
Mendengar itu ia bertambah menekur tak berani dia rupanya mengangkat mukanya lagi dan saya pun gugup pula hendak menambah perkataan. Memang bodoh saya ini, dan pengecut !
Tiba-tiba dalam saya menyediakan perkataan yang akan saya katakan pula dan dalam sedang merenungi kecantikan Zainab, kedengaranlah dari halaman bunyi telapak kaki Mak Asiah menginjak batu ; Zainab mengangkat mukanya saya berkata, “ Itu ibu datang.”
Saya masih dalam kebingungan, Zainab lalu kehadapan saya menyambut ketadangan ibunya. Ketika sampai ke beranda dia berkata, “ Ini Bang Hamid telah datang .”
Mak Asiah masuk dengan gembira, seraya berkata, “ Sudah lama, Mid ? “
“ Baru sebentar ini, Mak “ jawabku.
Saya disuruhnya duduk, Zainab dengan segera pergi ke belakang memasak kopi sebagaimana kebiasaannya.
“ Hampir mamak terlalai dari janji kita. Tadi mamak pergi ke rumah orang sebelah, karena tidak lama lagi dia akan mengawinkan anaknya. “ dari sekarang menyiapkan yang perlu, maklumlah tetangga perlu bantu membantu.”
Saya dengarkan perkataannya, tetapi, pikiran saya masih ingat kepada kejadiaan tadi. Pikiran saya menjalar kemana-kemana, memikir-mikirkan tekur Zainab dan mukanya yang merah ketika mula-mula melihat saya; hanya suatu kejadian yang tiba-tiba itu atau adakah dia merasai sebagai yang saya rasai ? dalam pada itu Mak Asiah masih tetap membicarakan beberapa perkara, menyebut-nyebut jasa suaminya, menyebut kebaikan ibuku. Akhirnya sampailah pembicaraan kepada Zainab.
“ Bagaimanakah pikiranmu, Hamid, tentang adikmu Zainab ini ? “
Darahku berdebar, detik-detik jantungku berhenti.
“ Apakah yang mamak maksudkan ? “ tanya saya.
“ Segala kaum kerabat di darat telah bermupakat dengan mamak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang kemenakan almarhum bapakmu, yang ada di darat itu. Dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka dengan perkawinan itu supaya harta benda almarhum bapaknya dapat dijagai oleh kaum keluarga sendiri, oleh kemenakannya, sebab tidak ada saudara Zainab yang lain, dia anak tunggal. Pertunangan itu telah disepakati oleh yang patut-patut; jika tak ada aral melintang bulan dimuka ini hendak dipertunangkan saja dahulu, nanti dimana tamat sekolahnya akan dilangsungkan perkawinan. Katanya tanah pekuburan ayahnya masih merah, air matanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau mamak suruh kemari, akan mamak lawan berunding. Mamak masih ingat pertalian dengan Zainab, masa engkau masih kecil dan masa sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya, apalagi engkau tak dipandangnya oranglain lagi ; sukakah engkau Hamid menolong mamak ? “
Lama saya termenung.........
“ Mengapa engkau termenung, Hamid ? dapatkah engkau menolong mamak, melunakan hatinya dan membujuk dia supaya mau ? Hamid....... mamak percaya kepadamu sepenuh-penuhnya, sebagai mendiang bapakmu percaya kepada engkau !,
“ Apakah dapat saya tolong Mak ? saya seorang yang lemah. Sedangkan ibunya sendiri tak dapat mematuh dan melunakan hatinya, kononlah saya orang lain, anak semangnya. “
“ Jangan bicara begitu Hamid, engkau tidak mamak pandang orang lain lagi, almarhum telah memasukan kedalam golongan kami, walaupun beragih, tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Ja’far, mamak meminta tolong melunakan hati adikmu.”
“ O, itu namanya perintah, saya kabulkan perintah mamak .”
Mukanya kelihatan gembira, meskipun dia tak sempat memperhatikan bagaimana perubahan muka saya yang telah buram. Sebentar sesudah itu Zainab datang membawa tiga cangkir kopi dan beberapa piring kue-kue. Ibunya melihat kepadanya dengan kasih dan mesra, karena di diri anaknya itulah tergantung pengharapannya yang penghabisan.
“ Duduk, Nab, Bang Hamidmu hendak berkata sepatah dua dengan engkau, “
Saya masih agak bingung dan Zainab telah duduk ke dekat ibunya dengan wajah kemalu-maluan.
Beberapa menit lamanya hening saja dalam ruangan itu, tak seorang pun di antara kami yang berkata-kata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan agak gugup, tak mau melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan darimanakah pembicaraan itu akan saya mulai.
“ Bicarakanlah Hamid, banyak amat tempo terbuang, “ kata ibunya tiba-tiba.
Sulit sekali memulai pembicaraan itu, sulit menyuruh seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang berat hatinya melakukan, pekerjaan yang berlawanan dengan kehendak hatinya sendiri. Tetapi dibalik itu, sebagai seorang anak muda yang telah dicurahi orang kepercayaan dengan sepenuh-penuhnya, akhirnya hati saya dapat juga saya bulatkan dan saya mulailah berkata.
“ Begini Zainab..........sudah lama ayah meninggal semenjak itu lenganglah rumah ini, tiada seorang pembantu pun yang akan menjaganya. Selain dari itu, menurut aturan hidup didunia, seorang gadis perlulah mengikuti perintah dan kehendak orang tuanya, terutama kita orang timur ini. Buat menunjukkan setia dan hormatnya kepada orang tuanya ia perlu menekan segala perasaan hati sendiri. Dia hanya mesti ingat sebuah saja yaitu mempergunakan diri baik murah atau mahal untuk berhidmat kepada orang tua.”
“ Sekarang, karena memikirkan kemuslihatan rumah tangga dan memikirkan hati ibumu, padahal hanya dia sendiri lagi yang dapat engkau hidmati, ia berkehendak supaya engkau mau dipersuamikan.......dipersuamikan dengan kemenakan ayahmu.”
Seakan-akan terlepas dari suatu beban yang mahaberat saya rasanya, setelah selesai perkataan yang sulit itu. Selama saya bicara Zainab masih tetap menekur ke meja, tangannya mempermainkan sebuah putung korek api, diremas-remasnya dan dipatah-patahnya, belum sebuah juga perkataan keluar dari mulutnya. Setelah kira-kira lima menit lamanya barulah mukanya di angkatnya, air matanya kelihatan menggelanggang, mengalir setitik dua titik ke pipinya yang halus montok itu.
“ Bagaimana, Zainab, jawablah perkataanku ! “
“ Belum Abang, saya belum hendak kawin.”
“ Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu.”
“ Belum, Abang ! sampai hati Abang memaksa aku ? “
“ Abang bukan memaksa engkau, adik, ingatlah ibumu.”
Mendengar itu dia kembali terdiam, ibunya terdiam, ia telah menangis pula. Karam rasanya bumi ini saja pijakan, gelap tujuan yang akan saya tempuh. Dua kejadian hebat telah membayang dalam kehidupan saya sehari itu, tak ubahnya dengan seorang yang bermimpi mendapat sebutir mutiara di tepi lautan besar, sebelum mutiara itu dapat dibawa pulang, tiba-tiba sudah tersadar; meskipun mata dipaksa tidur kembali, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak ada sambungannya lagi.
Analisis intrinsik
1. Tokoh dan Penokohan
· Hamid; pemuda yang berbudi luhur dan taat beragama. Ia adalah seorang anak yatim dari sebuah keluarga miskin. Ia diangkat oleh Haji Ja’far.
· Haji Ja’far ; seorang suadagar kaya yang berhati mulia.
· Asiah ; istri Haji Ja’far. Ia adalah sangat berbudi luhur.
· Zainab ; anak gadis Haji Ja’far. Ia adalah gadis yang berhati mulia, taat kepada kedua orang tuanya, dan selalu menjalankan perintah agama.
· Rosna ; teman sepermainan dan sahabat kental Zainab. Ia juga berbudi luhur dan taat kepada ajaran agama.
· Saleh ; sahabat karib yang berbudi luhur dan taat beragama. Dialah suami Rosna.
2. Tema
Masalah kasih tak sampai antara dua orang kekasih karena perbedaan status sosial yang menjolok.
3. Amanat
Status sosial tidak harus memjadi penghalang untuk saling mencintai antara dua orang anak manusia, dan betapa keberaniaan dari seorang laki-laki sangat dituntut dalam mengungkapkan rasa cinta tersebut.
4. Latar
a) Latar tempat : Padang dan Mekkah
b) Latar waktu : sekitar tahun 20-an
5. Alur
Alur mundur ( alur yang menceritakan masa lampau )
6. Sudut Pandang
Orang ketiga
7. Gaya Penulisan
Romantisme.
B. Kaitan Tema Dengan Zaman
Pada saat novel ini dibuat adat Minangkabau pada saat itu masih sangat kental. Seorang anak perempuan apabila telah tiba saatnya harus masuk ke dalam pingitan keluarga, ia tidak boleh berhubungan bebas dengan dunia luar ( lelaki dewasa ), sampai tiba saat ada pria yang melamarnya atau dijodohkan dengan kerabatnya yang merupakan hasil kesepakatan keluarga dengan tujuan untuk menjaga status sosial dan memelihara harta warisan. Karena kondisi seperti itu akan sangat sulit apabila ada cinta di antara dua status sosial yang berbeda, seperti yang dialami oleh Hamid yang miskin dan Zainab yang terpandang.